Oh! Mr. Hikkikomori
Vanille Yacchan
All Character Naruto © Masashi Kishimoto
NHK Ni Youkoso © Tatsuhiko Takimoto
...
[Chapter Three : Regret Tears, Suicide, and
Message]
...
Warning : OOC SASUKE.
.
.
Jika salah satu
saudaramu bertanya, apa sih yang paling menyebalkan di dunia ini?
Mungkin di antara beberapa orang akan menjawab hal yang paling menyebalkan
adalah kegiatan menunggu. Yeah, menunggu merupakan rutinitas
yang kerap kali membuat kita gelisah, emosi, berpikiran pesimis, apalagi orang
yang kita tunggu tidak datang tepat waktu rasanya ingin sekali menampar
wajahnya dan mengatakan 'berhentilah membuatku menunggu'.
Tetapi, kategori
menunggu bukan sesuatu hal yang paling dibenci oleh pemuda kuning yang kini
melotot ngeri ke arah komputer layar flatnya.
Uzumaki Naruto dan
ketololannya adalah sebuah bukti nyata bahwa pemuda kuning itu sangatsangatsangat
membenci dirinya yang begitu tergesa-gesa. Baru saja pemuda Uzumaki itu berniat
memformat USB flashdisk miliknya, tetapi karena dirinya yang bisa
dibilang terlalu mempercayakan insting daripada otaknya, ia hanya asal
menceklis kotak dialog yang tiba-tiba muncul di layar komputer dan mengklik button
OK. Alhasil, pemuda kuning itu tiba-tiba menyadari bahwa ia begitu tolol!
Kenapa?
Karena Naruto telah
berhasil—atau tak sengaja—memformat hardisk komputernya.
Segera, pemuda
Uzumaki itu mencoba menekan shortcut yang tersedia di keyboard
guna menghentikan proses pembersihan data. Tetapi apa yang ia dapat? Komputer
layar flatnya sama sekali tak merespon. Ia menggebrak keyboard,
rasa frustrasi menjalari otaknya.
Akh! Semua
data-dataku telah lenyap! teriak batinnya histeris.
Mungkin, jika kalian
dihadapkan dengan situasi seperti itu, kalian akan menangis tersedu-sedu dan
berteriak sekencang-kencangnya atau lebih buruknya kalian akan memecahkan salah
satu barang, baru akan merasa puas.
No-no! Hal
yang seperti itu pasti tidak akan mungkin terjadi. Karena Uzumaki Naruto adalah
lelaki kuat. Pemuda itu hanya mengutuk ketidakjeliannya yang benar-benar buruk.
Naruto menghela
napas lemah, otaknya mulai berpikir apakah kejadian ini merupakan karma yang
telah ia lakukan terhadap senpainya? Balas dendam, ya, balas
dendam karena senpainya telah melecehkan Mikarin tersayang. Pemuda kuning itu
memutar tubuhnya dengan kursi putar, ia menatap nanar ke arah figur gadis maid
robo—Mikarin—yang ia letakkan di lemari sudut ruangan.
"Apa yang harus
ku perbuat, Mikarin?" bisiknya lemah.
Oh, ayolah Naruto!
Kau seharusnya jangan mengajak sebuah boneka robo bicara. Tentu saja, karena ia
hanya seonggok karet yang dibentuk menyerupai seorang gadis maid robo.
Pastinya ia tak akan mau repot-repot merespon pertanyaan bodohmu.
Tetapi karena Naruto
sudah menganggap Mikarin benda hidup, setiap ia berkeluh kesah satu-satunya
orang—benda—yang paling tepat mendengarkan curahan hati sang Uzumaki muda ini
adalah gadis maid robo miliknya.
Pemuda kuning itu
menghela napas lagi, ia hendak bangkit dari duduknya, tapi tiba-tiba saja ada
sebuah tangan yang merangkul pundak tegasnya itu. Alhasil, pemuda kuning itu
terhentak di atas kursinya yang empuk.
"Moshi-moshi,
Naru-kyuun~~!" seru sebuah suara centil menembus indra pendengaran Naruto.
Pemuda itu segera menoleh dan mendapati seorang gadis dengan perawakan yang
sama seperti boneka maid robo miliknya keluar dari layar flat komputer
yang kini menggelap.
Ya, itu kenyataan.
Apa perlu diulang? Seorang gadis dengan perawakan yang sama seperti
boneka maid robo miliknya keluar dari layar flat komputer yang
kini menggelap.
Uzumaki Naruto tidak
hanya penderita akut delusif tetapi ia juga penderita akut nijikon. Pemuda
kuning itu terlalu sering mengandai-andai jika Mikarin memang nyata, dan tak
dapat di duga sel-sel saraf di otaknya itu mampu merefleksikan figur gadis maid
robo yang dicintainya itu benar-benar menjadi nyata—tentu saja
hanya ia yang dapat melihat Mikarin.
"Nee,
Naru-kyuun, kau ada masalah?" gadis imajinasi Naruto itu bertanya,
sepertinya Mikarin menyadari Naruto terlihat tak seperti biasanya.
Naruto menundukkan wajah,
aura gloomy terpancar di seluruh tubuhnya, "Semua game yang
memuat dirimu, beribu-ribu manga online yang ku download, ero game yang belum
kumainkan, link bookmark yang kusimpan, musik anime, data-data dan
semua password akun milikku lenyap karena kebodohanku!" jeritnya
histeris.
Mikarin mendekap
erat bibirnya sesaat, bola mata besarnya yang berbeda warna—jade dan aqua
blue—itu terbelalak ngeri, "Mikarin tak tahu isi semua data-data di
komputer itu sebegitu penting untukmu, Naru-kun," sahut Mikarin parau.
Kini gadis itu menitikkan air matanya, hati gadis itu serasa tercabik-cabik
ketika menatap Naruto bersedih.
Mikarin mengulurkan
kedua tangannya, menyentuh erat kedua bahu lebar Naruto, "Jangan khawatir
Naru-kun. Kau tidak akan sendirian lagi, bukankah Mikarin akan ada untukmu
ketika kau sedang susah?"
Pemuda Uzumaki itu
megangkat wajahnya, menatap Mikarin yang masih memasang wajah sedih. Ia merasa
sedikit bersalah membuat gadis imajinasinya itu menangis demi kebodohannya yang
di ambang batas, iris turquoisenya itu berkilat cerah. Sebuah senyuman
terpatri di wajahnya. Langsung saja, pemuda kuning itu memeluk erat Mikarin
yang selalu muncul di saat kesedihan melanda dirinya.
"Arigatou,
Mika-chan."
"He-he-he...
Mikarin senang kalau Naru-kun senang," balas gadis itu sembari tangan
mungilnya mengelus helaian rambut pemuda kuning itu lembut.
"Mungkin aku
mendapat karma karena membiarkan senpaiku kelaparan," tiba-tiba Naruto
berujar, ia melepaskan pelukannya. Kontan saja membuat Mikarin mengerutkan
keningnya bingung.
"Naru-kun,
memangnya karma bisa membuat komputermu seperti itu, ya?" tanya Mikarin
sembari dengan pose berpikirnya.
Ah, seketika otak
pemuda kuning itu ingat. Ketika ia berhasil membuat gadis imajinasinya itu
menjadi nyata, Mikarin muncul dengan sifat polosnya yang membuat Naruto
kelimpungan.
"Setahuku,
bukankah itu karena kebodohanmu? Ya, kan? Ya, kan?" imbuh Mikarin
Kontan saja, kalimat
itu membuat Naruto seperti dihantam batu besar. Kau terlalu jujur
Mika-chan, sahut batinnya merana. Kini pemuda kuning itu tersenyum hambar.
"Ah, apakah
ucapan Mikarin membuatmu tak senang?"
Naruto hanya
merespon dengan tawa hambar yang dibuat-buat. Mikarin nyengir lebar, merasa tak
berdosa dengan ucapannnya barusan. Benar-benar cewek naif.
"Mungkin kau
bisa mengundang senpaimu itu makan malam di apartemenmu, Naru-kun! Kudengar
dari paman Televisi, ia frustrasi kehabisan uang!" sembur Mikarin, kini
gadis itu berjalan menuju lemari berisi tankouban-tankouban manga. Ia mengambil
salah satu manga dari lemari dan membukanya. Sebuah senyuman terlukis di wajah
gadis itu.
Kening pemuda kuning
itu mengerut bingung. Bukan! Bukan bingung karena senpainya itu kehabisan uang,
hal itu sih sudah biasa. Tapi, karena paman Televisi! Sejak
kapan senpainya itu punya kenalan? Dan memangnya ada di dunia ini orang tua
dengan rela menamakan anaknya Televisi? Memikirkannya saja sudah membuat
gerigi-gerigi otak pemuda kuning itu hampir rusak.
"Ee..to… paman
Televisi?" ulang Naruto sembari menggaruk pipinya yang tak gatal. Mikarin
yang masih sibuk dengan manganya hanya merespon dengan anggukan singkat.
Kontan saja, ruangan
apartemen kecil itu diselimuti oleh gelak tawa Naruto, "Paman Televisi?
Hahahaha… Sasuke senpai punya teman aneh! Hahaha…"
Mikarin menjauhkan
manganya, menatap Naruto heran. Apa yang lucu dari paman Televisi? Pikirnya.
Mengangkat bahu, gadis itu membiarkan Naruto terbuai dengan lelucon garingnya.
Mata beda warnanya kembali menatap gambar hitam putih yang terpampang di
hadapannya. Sedetik kemudian sebuah tawa halus terdengar dari mulut gadis
imajinasi itu.
"Haha… paman
Tele…haha…visi…hahaha…" pemuda kuning itu masih saja tergelak dengan
lelucon garingnya. Sungguh Naruto, selera humormu cukup buruk.
…
…
"Mati aku… mati
aku… mati aku… mati aku… mati aku…"
Di sepanjang jalan
Sasuke tak henti-hentinya menggumamkan kalimat itu. Pemuda bermarga Uchiha ini
sangat kacau. Setelah akal sehatnya berniat untuk menjadi manusia berguna,
ternyata takdir buruk masih menghadangnya. Kenapa harus ada gadis itu di
sana! Batinnya berteriak histeris. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Jika bertemu dengan
gadis itu lagi. Ia tak tahu bagaimana menghadapinya nanti. Mungkin lebih baik
ia tetap mengurung dirinya di apartemen hingga membusuk. Ya—mungkin itu cara
yang lebih baik, pikirnya, kemudian ia menyeringai aneh. Tanpa sengaja dua
pasang sejoli yang melintas melihat senyumnya itu. Mereka bergidik dan langsung
berlari menjauh.
Sasuke yang melihat itu
hanya menghela napas pasrah.
Pasti mereka
menganggapku penguntit! Ah! Terlalu lama menjadi hikkikomori membuatku tak tahu
lagi bagaimana caranya tersenyum dengan normal. Pikirnya frustrasi.
Ia bergegas
melangkahkan kakinya menuju apartemen dan menutupi setengah wajahnya dengan
syal hitam yang saat ini ia kenakan.
"Kenapa waktu
terasa sangat lamban!" protesnya, karena dari tadi kecepatan kakinya
melangkah sama seperti binatang berlendir yang jalannya lamban.
…
…
BAAM
Pemuda Uchiha itu
menggebrak pintu apartemen sembari berteriak, "DUNIA YANG LEBIH
MENYENANGKAN HANYA ADA DI DALAM APARTEMEN INI!"
Segera Sasuke
melangkah masuk dan menutup pintu itu dengan keras. Ia tak peduli jika tetangga
apartemennya terganggu, yang lebih penting ia harus menyelamatkan dirinya.
Dunia luar itu sangat kejam.
Pemuda itu terduduk
dan menyandar di pintu. Ia mendesah sembari mengacak rambut buntut ayamnya.
Oh, ayolah!
Seperti itu saja kau sudah menyerah? Tiba-tiba Sasuke mendengar sebuah
suara di dalam dirinya, ujian hidup yang sebenarnya masih terbentang jauh.
Kalau kau sudah menyerah seperti itu, lebih baik kau mati saja sana!
Ah! Benar! Untuk apa
ia terus-terusan hidup? Manusia lemah dan rapuh seperti dirinya memang tak
pantas untuk bersaing di dunia ini. Lagipula jika ia mati, populasi manusia tak
produktif akan sedikit berkurang. Pemikiran yang sangat sempurna.
Sasuke bangkit dari
duduknya. Ia mengambil sebuah pestisida, pencair cat, dan memungut kecoa mati
yang tergeletak di samping bajunya di lantai.
"Setelah aku
mencampur bahan-bahan mematikan ini, lalu meminumnya secara perlahan, pasti
rasa sakit menuju kematian itu tak terasa, he…he…he," kekehnya.
Sasuke mulai
mencampur semua bahan percobaan bunuh dirinya ke dalam gelas sembari tersenyum
mengerikan—layaknya ilmuan gila yang ingin menghancurkan dunia.
… Selesai.
Iris onyxnya
memperhatikan gelas itu. Kecoa mati mengambang di atas cairan bening yang
baunya cukup menyengat. Apa benar ia cukup waras ingin meminumnya? Tidak!
Tidak! Sasuke sekarang memang dalam keadaan sangat sinting!
Dengan ekspresi
datar ia mulai menjulurkan tangannya, mengambil gelas yang berada di atas meja.
Sasuke menelan salivanya. Setengah bagian dirinya berteriak, 'kau masih bisa
kembali, kau masih bisa memperbaiki hidupmu yang menyedihkan itu. Jadi jangan
sia-siakan hidupmu!' setengah bagian dirinya yang lain memberontak, 'mati saja
sana! Memangnya kau mau seumur hidup tak punya pekerjaan? Jadi perjaka busuk,
menambah beban keluargamu saja! Dasar manusia menyedihkan!'
Ia menggelang cepat.
Mana yang harus ia pilih? Akkh! Otaknya menjadi gila! Bunuh diri saja susahnya
minta ampun! Sasuke menarik napas dalam, pemuda itu sudah memprediksi akan jadi
seperti ini. Seolah meblokir semua hasutan yang mengganggunya, pemuda itu
menganggukkan kepala, lalu menutup rapat kelopak matanya. Sasuke dengan tegas
kembali pada keputusan awal, 'lebih baik mati saja!'
Ini akan menjadi
perjalanan yang sangat singkat, bisa saja di kehidupan keduanya nanti, ia akan
menjadi bos besar atau yang lebih buruknya ia tetap bereinkarnasi menjadi
seorang hikkikomori busuk.
Tak apa! Setidaknya
ia pernah berusaha mengubah takdirnya dengan cara mengakhiri hidupnya lalu bereinkarnasi.
Oh! Ayolah Sasuke!
Memangnya kau hidup di zaman apa? Pikiranmu sekolot itu? Memangnya ada di
dunia ini reinkarnasi? Bisa saja kau menjadi arwah gentayangan yang setiap
malam mengetuk pintu rumah orang tuamu dan meminta dicarikan pekerjaan.
Semuanya jadi tak masuk akal!
Sasuke mendesah, ia
mulai mendekatkan bibir gelas ke mulutnya. Sensasi pestisida dan pencair cat
menembus penciumannya.
Ini buruk
sekali!
Tiga senti…
Dua setengah senti…
Ekspresi wajahnya
mulai mengkerut. Ah! Apakah ia harus benar-benar mati?
Dua senti…
Bagaimana dengan
orang tuaku nanti setelah mendengar kematian anaknya? Pikirnya kalut.
Satu setengah senti…
Apakah ia harus mati
dengan cara tak elit seperti ini? Ayolah Sasuke, jika kau memang benar-benar
berniat ingin mati, cukup teguk racunmu, seketika rohmu melayang menuju alam
baka, kemudian selesai.
Satu senti…
Sasuke meringis, ia
menutup hidungnya. Sasuke hendak meneguk racunnya dan bersamaan dengan itu
pintu depan terbanting keras.
"SENPAI!...
UWAAAAAH!"
Naruto bergegas
menyingkirkan gelas di tangan Sasuke, "Apa yang kau lakukan? Apa otakmu
sudah tak bekerja lagi? Masa kau mau makan itu—" pemuda kuning itu
menunjuk sang kecoa mati yang menempel di dinding, pemuda Uzumaki itu menggigil
karena ngeri.
Sasuke tertawa
hambar, kemudian menelungkupkan tubuhnya di atas meja. Ia mulai menangis keras.
Naruto mengerutkan keningnya,
"Senpai! Apa kau sebegitu frustrasinya karena tak punya uang hingga ingin
memakan itu? Seharusnya kau bilang padaku kalau kelaparan! Di apartemen masih
ada sepuluh dus mie ramen instan."
Ah! Rupanya ada yang
salah paham!
"Senpai!"
panggil Naruto, Sasuke malah mengeraskan tangisannya.
Dasar baka!
Baka! Batin Sasuke berteriak. Kemudian Sasuke mengangkat wajahnya, ia
menoleh ke arah Naruto. Air matanya dengan deras mengalir, "Apa yang kau
lakukan! Padahal sebentar lagi aku sampai di alam baka!"
Turquoisenya itu membesar, "APA?" sergahnya,
kemudian bau pestisida dan pencair cat menembus indra penciuman pemuda kuning
itu. Ekspresinya menjadi geram. Sungguh Naruto, responmu lamban sekali.
Naruto mengulurkan
tangannya dan menyentuh bahu Sasuke, "Apa yang kau lakukan senpai? Jika
kau mati, apa yang harus kujelaskan dengan polisi ketika meminta keterangan
kematianmu? La-lalu jika aku dituduh menjadi tersangka, bagaimana hidupku
dipenjara nanti? Kehidupanku sebagai penikmat 2D berakhir!" sergahnya sembari
mengguncang-guncang tubuh Sasuke.
Sasuke dengan cepat
menyingkirkan kedua tangan Naruto di bahunya, "Kenapa kau malah
mengkhawatirkan dirimu sendiri? Kau lebih senang kalau aku mati jauh-jauh dari
apartemen ini, begitukah?"
"Bu-bukan
begitu!" sahutnya kemudian, "hanya saja—aku tak pintar kalau
berurusan dengan polisi. Aku jadi gugup, tahu!" semburnya.
"Aku tidak
peduli! Yang jelas, kau sudah menghancurkan ritual pembebasan roh di dalam
tubuhku!"
Naruto tersenyum
kecut, pemuda kuning itu berpikir mental senpainya ini benar-benar sudah tak
bisa diselamatkan! Ia mendesah, "Lebih baik kau ke apartemenku saja
senpai!"
Satu alis Sasuke
terangkat, "Hah?"
Tanpa basa-basi
Naruto menarik senpai menyedihkannya itu ke apartemen miliknya.
…
…
"Oh,
jyadikwaubwetmu dwengan gwawis witu?"
Sasuke meringis
jijik, "Telan dulu makananmu ketika kau hendak bicara! Menjijikan!"
lalu Sasuke menyesap Oolong tea perlahan, ah~ sekarang dirinya lebih
tenang.
Pemuda kuning itu
menelan makanannya, seketika ia tersedak, segera meraih minuman di hadapannya,
lalu meneguknya dengan cepat, "Gwuah! Ahahaha… gomen… gomen…"
"Kau
menjijikan!" gumam Sasuke menatap Naruto datar.
Kau lebih
menjijikan senpai, balasnya dalam hati. Naruto tak mau mencari masalah
dengan senpainya sekarang. Bisa-bisa nanti ia jadi korban pembunuhan setelah
apa yang ia lihat tadi, "Jadi, kau bertemu dengan gadis itu?"
ulangnya lagi mengklarifikasi.
"Hn! Bukankah
aku sudah menjelaskannya tadi? Gadis kemarin, yang melihatku hendak membuang
boneka laknatmu itu!" sahutnya sembari memejamkan matanya sesaat.
Entah kenapa ada
perasaan senang di dalam diri Naruto. Ternyata Sasuke senpai kena batunya!
"Kenapa kau
terlihat senang?" sembur Sasuke yang sadar akan ekspresi pemuda kuning
itu. Segera Naruto mengelak, "Ti-tidak! Aku hanya berpikir, mungkin saja
gadis itu ditakdirkan menyembuhkan penyakit hikkikomorimu itu, senpai!"
"Kau mengigau
ya?" sahut Sasuke dengan enteng, "Di dunia ini sudah menjadi aturan
kalau mengigau itu hanya saat tidur saja. Jadi enyahkan pemikiran itu dari otak
dangkalmu!"
Naruto terpancing
emosi, rasanya ia hendak sekali merobek-robek mulut senpainya yang tak ada
manis-manisnya itu. Dengan segera pemuda kuning itu ingat, hari ini ia tidak
boleh marah. Hari ini hari spesial untuk menyenangkan hati senpainya itu.
Naruto tertawa tertahan, "Benar juga katamu, sen-pai!"
Sasuke medesah, ia
tak sadar jika ada aura membunuh menguar di tubuh Naruto. Onyxnya itu memandang Naruto yang menunduk, pemuda Uchiha
itu jadi bingung. Seharusnya yang di sini menderita itu dirinya, kenapa pemuda
kuning itu yang terlihat nampak menderita? Dasar Sasuke bodoh! Naruto terlihat
menderita karena memendam amarahnya!
Lalu, onyxnya
mengarahkan atensinya ke arah komputer layar flat milik pemuda kuning
itu.
Gelap.
Hari ini ia tak
mendengar bunyi berisik dari soundtrack anime yang diputar Naruto.
Otaknya yang pintar itu menyimpulkan, jadi karena 'itu' ya?
"Hei! Ada apa
dengan komputermu?"
Naruto mengangkat
wajahnya perlahan, tak disangka ekspresinya langsung memucat—layaknya jasad tak
bernyawa. Sepertinya Sasuke sudah salah membahas mengenai hal itu, dengan kikuk
ia menyela, "Ah, lupakan saja!"
Setelah itu
keheningan melanda, Naruto masih berkutat dengan kesedihannya, sedangkan Sasuke
ia merebahkan tubuhnya di lantai tatami. Ia mendesah, otaknya berpikir,
ternyata keluar dari dunia hikkikomori itu sangat sulit.
"Hei,
Naruto?" panggil Sasuke, Naruto dengan wajah merana menatap senpainya, ia
bergumam 'ada apa?'
"Seandainya
keadaan Tokyo tidak seperti sekarang, apa yang akan kau lakukan? Apa kau akan
tetap berimajinasi dengan karakter tak nyata di otakmu?"
Kening Naruto
mengerut, ada apa tiba-tiba senpainya bertanya seperti itu? Tidak biasanya.
Lalu ia mengerang, "Entahlah! Mungkin tidak," ia mengangkat bahu,
lalu melanjutkan, "ya, mungkin aku akan membantu orang tuaku di desa dan
melakukan suatu perubahan."
Sasuke mendengus
mendengar jawaban Naruto, "Baguslah kalau begitu," sahutnya simpel,
seketika membuat pemuda kuning itu bingung luar biasa, "Apa maksudmu,
senpai? Kau hanya mengetesku ya?"
"Tidak! Aku
hanya terlintas berpikiran seperti itu. Ternyata jawabanmu cukup keren
juga," Sasuke tertawa kecil, Naruto mendesah. Pemuda kuning itu balik
bertanya, "Lalu, bagaimana denganmu? Apa yang akan kau lakukan,
senpai?"
"Hmmm… mungkin
aku akan tetap menjadi hikkikomori. Karena pada dasarnya, aku tak tahu
bagaimana cara mengubah kehidupanku," sahutnya sembari tersenyum kecut.
"Senpai! Kau
menyedihkan sekali!"
"Hn! Aku tahu
itu!"
DRRRRTTTT
DRRRRTTTT
Tiba-tiba ponsel
Sasuke bergetar, pemuda Uchiha itu merogoh kantung celana jeansnya. Naruto yang
berada di seberang meja nampak penasaran, "Langka sekali aku melihat kau
menerima pesan, senpai!"
"Kau penguntit
ya? Kenapa kau tahu aku jarang menerima pesan?"
Naruto meringis
mendengar tuduhan senpainya itu, "Kau gila ya? Kau itu hikkikomori,
bukankah kenalanmu saat SMA hanya aku dan si gadis menyebalkan itu? Dan aku
yakin temanmu saat SMP dan SD tak akan mengingatmu."
"Kau sok
tahu!" balasnya dingin.
Segera Sasuke
membuka ponsel layar sentuhnya, kemudian membuka sebuah pesan dari nomor tak
dikenal. Seketika onyxnya itu terbelalak tak percaya.
From :
0777xxxx
Dear Uchiha
Sasuke-dono
Kau telah
terpilih menjadi kandidat terbaik sebagai projek penelitianku. Jika kau ingin
'Hikkikomori'mu disembuhkan, temui aku di Sanda Park, jam 9 malam.
PS : Kau
bisa sekalian ambil CV yang tertinggal di perpustakaan
Haruno
Sakura
Ini tak salah lagi!
Pesan ini dari gadis itu!
Bagaimana ia
tahu nomor ponselku? Pikir Sasuke kalut. Ah! Ya! Pemuda Uchiha itu ingat,
ia menuliskan nomornya di belakang kertas CV miliknya.
Lalu bagaimana
gadis ini tahu tentang penyakit hikkikomoriku? Apakah gadis ini peramal?
Sasuke menggeleng cepat, tak mungkin! Tampang peramal biasanya agak mengerikan.
Sepertinya pemikiran aneh Naruto menjadi kenyataan.
Lalu apa yang harus
ia lakukan? Pilihan pemuda itu hanya ada dua ; datang ke tempat perjanjian atau
acuhkan saja gadis itu.
Akkh... memikirkan
hal itu membuat otaknya hampir meledak, sedangkan Naruto, ia menaikkan satu
alisnya ketika melihat kelakuan senpainya itu tiba-tiba agak sinting.
"MEMBINGUNGKAAAAANNN!"
Sontak apartemen
kecil itu diisi teriakan Sasuke yang benar-benar sudah sangat kacau.
.
.
.
.
To Be
Continue...
Maaf Baru posting sambungan FF absurd ini. Kalian bisa berkunjung ke akun FFn saya, author penname saya
Vanille Yacchan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar