Jumat, 31 Agustus 2012

[Fanfiction] Hatred [Oneshot]



Author : sHyning soHee
Cast : Park Jikyung, Park Youngji (My OC) and Choi Minho
Genre : Suspense/Family/Romance/Hurt/Comfort/Tragedy
Rated : T++
Length : One Shot
Warning : ALUR CEPAT!! APABILA ANDA TIDAK BISA MENGIMBANGINYA DIHARAPKAN MEMAKAI SPEEDY, hahahahaha—krik krik garing!! Kata-kata dengan italic mode sama dengan Flashback, alright?
.
.
.
Ready?
.
.
.
Action!!

“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!!!!”

Aku menatap dengan pandangan meremehkan terhadap seorang wanita dihadapanku.

SIIING

Tusukan besi runcing panjang yang menancap di dahinya kucabut paksa, hingga aliran cairan merah pekat menyembur. Aku menyeringai menatap hasil karyaku.

“Benar bukan? Rasa kebenciankulah yang menjadikan kau seperti ini. Cih menyedihkan!”

KLONTANG

Kujatuhkan besi runcing panjang itu kesebuah lantai marmer yang kini dibanjiri cairan merah pekat yang menggiurkan.

Senang.

Rasanya menyenangkan. Apa kau tahu? Inilah yang kunamakan seperti disurga. Rasa benci yang kutanamkan hingga bertahun-tahun kini lenyap seperti dihempaskan oleh angin yang menyegarkan. Tanpa sengaja sebuah senyuman terukir diwajahku. Sebuah senyuman yang begitu puas.

####
Benci

Benci

Benci

Benci, rasa benci itulah yang sekarang menyerang rongga dadaku. Bagaimana bisa, seorang saudaramu berselingkuh dengan kekasih saudaramu sendiri. Bahkan mereka sudah melakukan hubungan ini begitu jauh.
Rasanya sakit. Sakit sekali. Aku hanya bisa diam. Aku tahu ia adalah seorang kakak yang selalu dibanggakan oleh kedua orang tuaku, bahkan ia begitu cantik dan pintar. Lalu aku? Aku seperti dianggap sampah oleh orang tuaku sendiri. Bahkan kakakku sendiri sudah mengkhianatiku. Jadi selama ini janjinya hanya sebuah dusta saja.

“Kita saudara bukan? Jadi kita saling melindungi ya?”
“Kalau ada seseorang lelaki yang sama-sama kita sukai, kita tidak boleh mengkhianatinya. Bukankah kita saudara?”
“Walaupun ayah dan ibu sering memarahimu. Aku akan selalu sayang terhadapmu kok.”

Lalu dimalam itu sebuah kecelakaan terjadi pada kedua orang tuaku. Semua keluargaku bahkan kakakku menangis ketika datang di acara pemakaman orang tuaku. Aku? Aku tersenyum, bahkan menyeringai. Apakah ini yang dinamakan pembalasan oleh Tuhan?

Hahahaha—Tuhan memang adil, benar bukan?

Hingga saat itu sedikit demi sedikit rasa benci ini mulai mengikis. Aku tinggal bersama kakakku. Ya—walaupun sesudah acara pemakaman itu kakakku tidak mau melakukan hal sesuatu, hanya mengurung diri saja, benar-benar merepotkan. Kedua orang itu untuk apa ditangisi? Tidak ada gunanya.
Beberapa bulan sudah kami melupakan peristiwa itu, bahkan aku sudah melupakan rasa benci itu terhadap kakakku dan kedua orang tuaku. Kini—aku sudah menjajaki pendidikan menengah atas. Ketika kenaikan sekolah, tiba-tiba saja seorang namja yang kusukai menembakku. Benar-benar diluar dugaan. Tentu saja aku menerimanya, hingga aku tidak berpikir panjang apa yang sebenarnya diincar namja itu.

“Hah—dinginnya. Apa Minho menungguku terlalu lama dirumah ya?” Tanyaku pada diriku sendiri sambil merapatkan mantel berbulu tebal.

Aku merogoh kantong mantelku, dan mengambil sebuah ponsel. Kubuka ponsel flip yang kini tengah menyala. Awalnya aku hendak mengiriminya sebuah pesan agar pulang saja terlebih dahulu. Tapi karena aku terlalu khawatir padanya tidak jadi saja. Lebih baik dia menginap saja dirumah. Lagipula sudah jam 11.00. Aku takut nanti dia sakit, apalagi tadi dia naik motor.

CKLEK

“Eh? Tidak dikunci? Ah dasar kakak, dia teledor sekali sih membiarkan pintu rumah tak dikunci.”

“Eeenggh—“

‘Suara apa itu? Seperti seseorang yang mendesah.’ Batinku.

Kulangkahkan kaki jenjangku menuju sumber suara tadi.

“Sudahlah Minho, nanti adikku pulang. Bisa ketahuan kita.”

“Masa bodoh. Sudah lama aku mencari kesempatan hanya kita berdua saja. Adikmu itu selalu menempel padaku.”

“Hahahaha—tentu saja, dia ‘kan cinta padamu.”

“Diamlah! Yang kucintai hanya kau!”

KLONTANG!!

Tak sengaja kujatuhkan barang belanjaanku disupermarket tadi, aku kaget apa yang tengah kusaksikan kali ini. Nampaknya mereka tak menyadari bunyi jatuhnya kaleng makanan instan. Minho dan kakakku tengah berciuman, dikamar kakakku, aku bisa melihatnya karena pintunya agak sedikit terbuka. Lalu—tidak hanya itu saja, mereka begitu tengah menikmatinya. Apakah mereka saling mencintai? Aku yang melihatnya melotot tak percaya. Rasanya sakit sekali. Sakit. Deru nafasku memburu. Rasa benci yang kini tengah tenggelam, menyeruak kepermukaan. Kali ini, rasa benci ini begitu kuat. Aku sudah tak tahan kubuka dengan paksa pintu yang memang sedikit terbuka itu.

BRAAAAKK!!

Reflek kedua insan yang tengah bergumul dengan nafsu mereka itu menjauhkan diri mereka masing-masing.

“APA YANG KALIAN LAKUKAN??”

“Aaa—aku bisa menjelaskannya.”

“TIDAK PERLU KAU JELASKAN MINHO. LEBIH BAIK KAU PERGI DARI SINI! CEPAT! AKU TIDAK INGIN MELIHATMU LAGI!!”

“Itu apa artinya?”

“KITA PUTUS!! CEPAT PERGI!!”

“Baik!! Kau pasti akan menyesal.”

“AKU TIDAK AKAN PERNAH MENYESAL MEMUTUSKANMU. BAHKAN AKU YANG MENYESAL TELAH MENERIMAMU! PERGI SANA!!”

BRAAK!! Bunyi suara pintu ditutup secara beringas. Aku tahu pasti Minho sangat marah. Cih—aku tidak akan pernah menyesal memutuskannya. Dasar lelaki brengsek.

“Jikyung—“ Aku mendengar sebuah gumaman seorang wanita. Kutatap matanya yang kini basah dengan air matanya. “Aku minta maaf. Ak—aku yang sebenarnya salah.”

“DIAM KAU!!” Bentakku. Bentakan itu sukses membuatnya tersentak. “AKU TIDAK PERCAYA KAU MENGKHIANATIKU PARK YOUNGJI. AKU BENCI PADAMU.”

BRAAKK!!

Pintu kamar itu kututup dengan keras. Aku berlari menuju kamarku dilantai atas. Rasanya sakit. Bahkan melebihi sakitnya ketika aku diperlakukan secara tak adil oleh kedua orang tuaku. Kucengkram erat dadaku. Nafasku kian memburu. Mataku begitu perih, hingga akhirnya pertahananku jebol. Air mata mengalir menganak sungai dipelupuk mataku.

Apa kau tahu kakak? Kau sudah membangunkan rasa kebencian itu lagi. Aku menyesal kala itu telah membuang rasa benciku padamu. Bahkan aku sudah tidak sudi lagi menganggapmu sebagai kakakku. Sebenarnya aku juga menyayangimu, ketika aku berusia 8 tahun. Seorang anak yang diselimuti oleh rasa benci ini, kau selalu menghiburku dengan perkataanmu yang begitu manis.

“Kenapa kau menangis?”
 “Aku benci. Aku benci dengan ayah dan ibu. Mereka selalu menomor satukan dirimu. Rasanya disini sakit sekali. Hatiku ya—hatiku begitu sakit.”
“Kau tahu? Ketika sebuah benda tajam melukai kulitmu, pasti akan terluka dan terasa sakit. Apabila luka itu diobati akan segera sembuh secara perlahan. Berbeda dengan luka yang ada dihatimu. Obat biasapun tidak akan ada yang bisa menyembuhkannya.”
“Lalu apa itu? Bagaimana aku bisa mendapatkannya?”
“Tentu saja dengan kasih sayang. Aku—kakakmu, aku adalah obat bagimu. Walaupun ayah dan ibu sering memarahimu. Aku akan selalu sayang terhadapmu kok.”
Kau adalah kakakku yang sebenarnya kusayangi  dan sangat kubenci lebih dalam daripada orang lain. Aku sadar, ketika aku dilahirkan kutukan kebencian ini sudah menjadi takdir bagiku.

####

Beberapa minggu telah putus dengan Minho. Mereka semakin membuatku muak. Dengan entengnya Minho mengatakan kalau sekarang dia pacaran dengan kakakku. Mereka bermesraan dihadapanku, membuatku benar-benar marah. Memang walaupun aku benci padanya, tapi sebenarnya aku sangat mencintai Minho. Cukup sudah kutahan rasa sakitku ini. Aku ingin mengakhirinya malam ini.

“Ahahahaha—dasar kau Minho. Jangan terus menggangguku.”

“Huh—kau tidak asyik.”

“Eghem!! Maaf mengganggu kalian. Boleh aku meminjam Minho sebentar? Aku ingin bicara padanya.” Ucapku menginterupsi aktivitas yang terlihat menjijikan bagiku.

“Ha? Kau ada perlu apa denganku? Kau menyesal ya?”

“Tidak sama sekali.” Ucapku sambil memasang seringai sinis.

“Lalu apa?”

“Tidak usah banyak bicara. Ikut saja!!”

(SKIP TIME)

“Apa yang ingin kau bicarakan?” Seketika ia memecahkan keheningan disebuah tempat gudang yang dimiliki rumah ini, tentu saja aku yang mengajaknya.
Aku memejamkan mataku lalu berpikir sebentar, apakah ini jalan yang terbaik? Ya—tentu saja ini jalan yang terbaik untuk menghentikan rasa benci ini. Kubuka perlahan kelopak mataku, tanpa bicara apapun aku langsung menusukkan benda tajam yang kini kusembunyikan dibelakang punggungku keperutnya.

“ARRRGHHH Ap—apa yang kau lakukan?” Suaranya terdengar agak melemah.
Aku menyeringai melihat aliran cairan merah pekat itu menggenang lantai yang berlapisi marmer. Inilah yang aku inginkan, menghentikan semua kebencian ini dengan sebuah pengorbanan, walaupun itu harus membunuh seseorang yang ku cintai.

“Kau—gila!!”

“Aku tidak gila Minho. Aku sudah yakin. Aku sudah mempersiapkan diri  untuk melakukan ini semua, karena AKU BEGITU MENCINTAIMU. KAU MENGERTI? AKU TIDAK SUDI KAU BERSAMA DENGANNYA.“ Kuputar tusukan benda tajam yang mengenai perutnya itu, ia berteriak kencang. “AKU JUGA TIDAK RELA KAU HANYA MENCINTAINYA.“ Kucabut benda tajam itu dengan beringas, lalu menusukkan kedaerah ginjalnya dan mengobrak-abrik apa yang ada didalamnya. Ia semakin berteriak dengan kencang. “Sst—diamlah. Kalau kau berteriak terus maka aku tidak segan-segan menusuk benda tajam ini kekerongkonganmu.”

“Ke-kenapa kau berbuat seperti i-ini?”

“Aku sudah mengatakannya, karena aku terlalu mencintaimu. Makanya aku rela melepaskanmu dengan membunuhmu.” Kugerakkan tanganku dan menyentuh pipi mulusnya yang kini ternodai darahnya sendiri.

“Ta-tapi aku tidak meny-nyukaimu bah-kan mencin-taimu.”

“DIAM KAU MULUT BRENGSEK.” Benda tajam yang awalnya berada di daerah ginjalnya kini dengan kecepatan kilat kutusukkan didalam mulutnya hingga darah merembes keluar dari mulutnya.

“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA—APA KAU JUGA MERASAKAN SAKIT YANG SAMA? OH!! BAHKAN RASA SAKIT SEMUA TUSUKAN BENDA TAJAM INI MELEBIHI RASA SAKIT HATIKU. BERANI-BERANINYA KAU MEMPERMAINKANKU!!” Kucabut benda tajam yang berada didalam mulutnya secara perlahan. Dapat kudengar ia mengerang kesakitan. Teruslah berteriak seperti itu,  itu menandakan kau begitu tersiksa dan kau bisa mengerti bagaimana rasa sakit yang sebenarnya.

“Uhok!!” Ia memuntahkan banyak cairan merah pekat. Ruangan itu kini—tercium bau amis yang menguar. Membuatku bersemangat untuk mengakhiri hidupnya.

“Kau tidak bisa bicara lagi ya, darling?” Ucapku sambil mengelus pipi mulusnya. Dengan kekuatannya yang begitu lemah, ia berhasil menepis tanganku dari wajahnya. “Apa yang kau lakukan? Berani-beraninya kau!!”  Tanpa aba-aba kuraih tangan besar itu, lalu kugores secara perlahan bentuk-bentuk abstrak dengan benda tajam itu kekulit tangannya. Aku bisa melihat tulang putih yang dilapisi oleh daging dan kulit itu. Dengan sekuat tenaga kutusukkan benda tajam itu ketangannya sehingga ujung mata benda tajam itu menembus kulit dan tulangnya. Ia memang tak bisa bersuara lagi, tapi tubuhnya meresponnya dengan menggelinjang, itu artinya ia kesakitan.

“Minho—Jikyung kalian dimana?” Tiba-tiba suara familiar yang sering kudengar itu menyeruak kedalam alat pendengaranku. Aku tidak peduli dengannya, aku hanya peduli dengan seseorang yang berada dihadapanku yang nampak sekarat.

“AP—APA YANG KAU LAKUKAN JIKYUNG?” Kulihat seseorang yang mencariku dan Minho kini sedang menatapku dengan tatapan tak percaya. Ia melihat pisau tajam yang beraliran darah. Kemudian matanya menatap lantai marmer dengan mata melebar. Tentu saja, lantai itu sudah dibanjiri cairan merah pekat yaitu darah Minho.

“Ka—kau. Kenapa? Kau gila!” Tubuhnya bergetar hebat. Tak ayal cairan bening menggenang dipelupuk matanya yang kini begitu redup. Ini kesempatan bagus, pikirku. Aku akan mengakhiri hidup Minho didepan matanya.  Aku menyeringai menatap cairan merah pekat yang menggenang di pisau yang kupegang. Tanpa pikir panjang, kutikam jantungnya.

Tusuk

Cabut

Tusuk

Cabut

Tusuk

Cabut

Tusuk

Cabut

Aku tertawa senang ketika tubuh Minho menggelinjang karena kesakitan, rupanya mendengar teriakan dari Youngji menjadi penyemangatku untuk mengakhiri hidupnya. Lagi-lagi kubenamkan pisau tajam nan runcing kedalam rongga jantungnya, kuputar dengan beringas searah jarum jam, hingga kini aku bisa melihat dadanya membentuk sebuah lubang yang menganga. Dapat kupastikan Minho tak bernyawa lagi. Itu yang membuatku senang. Dapat kulihat jantung itu agak sedikit hancur, sangat memuaskan. Kucoba menyentuhnya, lalu kutarik paksa hingga keluar. Beginikah bentuk sebuah jantung? Ya—walaupun agak sedikit hancur.

“HE—HENTIKAN!!”

Akh—akhirnya dia juga menyuruhku berhenti. Dengan enggan kujatuhkan jantung itu kelantai marmer dan menghampirinya yang kini terduduk lemas diambang pintu gudang.

“Hei Youngji. Hari ini aku sangat puas. Tapi—pesta penutupnya sih belum selesai.”

“Ap—apa maksudmu.”

“Cih—tidak usah berlagak bodoh. Tentu saja malam ini adalah malam pengakhiran hidupmu.”

“Wajahmu—wajahmu bukan seperti Jikyung.”

“Apa maksudmu?” Potongku.

“Walaupun kau benci dengan sesuatu hal, wajahmu tidak akan seperti itu.”

“Daridulu wajahku memang menyedihkan. Memangnya kau tahu apa tentangku, hah? Kau kakak yang hanya bisa bahagia diatas kesedihan adiknya. Didepanku kau berlaku baik, tetapi dibelakangku secara perlahan kau menikamku. Kau sama saja dengan dua orang tua itu.”

“Berhentilah membenci, adikku. Walaupun kau membenciku, aku tetaplah kakakmu. Apa kau ingat, aku adalah penyembuh rasa sakit yang ditimbulkan oleh rasa kebencianmu. Aku sungguh-sungguh menyayangimu.”

“Ya—awal mulanya kukira kau memang sebagai penyembuh luka sakit hatiku. Tapi lama-kelamaan aku mulai sadar ternyata berasal dari kaulah bibit kebencian itu.  Aku sakit melihat kau disayangi oleh ibu. Dipuji-puji oleh ayah ketika kau mendapat nilai memuaskan ketika ujian, selalu mendapat apa yang kau minta, aku juga ingin seperti dirimu. Ingin dilihat oleh ayah, oleh ibu. Tapi kenyataannya selalu saja aku dianggap tidak berguna oleh kalian. APA KAU TIDAK MERASAKAN BAGAIMANA SAKITNYA? Dan sekarang kau merebut orang yang kusukai. Oh—tentu saja kau tidak bisa merasakannya, didalam kehidupanmu hanya ada kebahagiaan. Orang sepertimu TIDAK AKAN MENGERTI YANG NAMANYA KEBENCIAN DAN RASA SAKIT!!”

“He—hentikan!!” Dapat kulihat ia menutup telinganya dan menggeleng kuat. Matanya masih basah dengan cairan bening. “Aku tahu aku selalu bahagia. Selalu mendapatkan apa yang kuinginkan. Tapi itu bukan hal yang kuinginkan sebenarnya. Aku selalu dibayangi oleh ayah dan ibu, aku tidak bisa bebas. Padahal aku iri padamu yang tidak terlalu diperhatikan oleh ayah dan ibu.”

“TIDAK MUNGKIN!! Memangnya sekarang aku ini anak-anak yang mudah dibohongi oleh kata-kata manismu? Ketika ayah dan ibu meninggal aku begitu bahagia. Dan sekarang giliranmu untuk mengatakan selamat tinggal dengan dunia kebahagiaanmu.” Tiba-tiba saja pisau tajam yang kusembunyikan dibelakang punggungku kutancapkan diperutnya. Dengan tusukan pisau tajam itu cairan merah pekat  menggenang disekitar perutnya, dan menggenangi bajunya yang berwarna biru.

“Hahahahahahahahahaha—aku puas!! Tidakkah kau lihat sekarang aku bisa tersenyum dengan puasnya?” Ucapku dengan penuh keseringaian.

“I-itu bu-bu-bukan se-nyuman tu-lus. Tapi se-nyuman kk-kebencian. Kau bbu-kan Ji-kyung ss-sebe-narnya. Ra-sa ke-bencian ssu-dah mme-nu-t-u-pi hhat-imu ya-ng ssu-ci.”

BULLSHIT!! Rasa kebencian inilah yang sudah membuatmu seperti ini dan orang brengsek disebelah sana. Dan aku sangat puas. Rasanya menyenangkan, kau tahu?” Ucapku sambil menunjuk seseorang yang tergeletak diujung gudang.

“Uhok!” Tangannya yang sedingin es itu tiba-tiba menyentuh pipiku. Ia tersenyum kearahku. “Kkau bbe-nar. Kka-u  ha-nya iri  ke-padaku, kkau  ter-sik-sa  kketi-ka  akk-u  sela-lu  disa-yangi  oole-h  ibu dan a-yah. Mema-ngnya kau ki-ra  akku  ti-dak  me-ngerti  pe-rasaanmu  wak-t-u itu? Pasti ras-anya sa-ngat sakit di-sini.” Tangannya yang bebas itu menyentuh dadanya, dan mencengkramnya. Dapat kulihat ia menangis pilu. Tangannya yang masih berada dipipiku bergetar hebat. “Maka-nya akku seba-gai kakakmu ingin meng-hilangkan rasa kebencian itu sse-lama-lamanya. Ta-pi ke-nyataannya akulah yang ga-gal. Sela-lu saja ak-u menya-kiti hati-mu. Aku me-mang pan-tas dibenci oleh-mu. Walau-pun kau begi-tu ben-ci pada-ku, ak-u te-tap sela-lu me-nyayangi-mu. Ra-sa sa-yang-ku terha-dapmu le-bih be-sar dari ra-sa keben-cianmu yan-g men-dalam itu.”

Aku tertegun dengan ucapannya barusan. Huh? Aku tahu kau hanya berakting saja. Memangnya aku percaya semudah itu dengan ucapan manisnya itu?

SLAP

Tangannya yang menyentuh pipiku itu dengan sukses kutepis. Ia agak terkejut dengan perlakuanku barusan. “OMONG KOSONG!! Aku tahu kau hanya pura-pura saja. Memangnya, dengan mudahnya aku percaya omongan manismu itu? Cih—mati saja kau keneraka yang paling terdalam. Ternyata memang benar. Seseorang yang paling dekat denganmu adalah seseorang yang memiliki kekuatan terbesar untuk menyakiti hatimu, dan itu adalah dirimu. Benar yang kau katakan, KAU SELALU SAJA MENYAKITI HATIKU. MEMANGNYA KAU TAK PERNAH PUAS MELIHAT DIRIKU MENDERITA. ATAU KAU INGIN MELIHATKU MATI MENGGENASKAN DENGAN RASA KEBENCIAN YANG MENYELIMUTIKU, HAH?”

“TIDAK!! Jja-ngan!! Akku tidak ta-han meli-hatmu be-gini!! Akku ingin me-li-hatmu baha-gia. Maka BENCILAH, TE-TAP BEN-CI LAH DI-RIKU, atau mung-kin BUN-UH SA-JA AK-KU ji-ka itu yang ak-kan mem-buatmu baha-gia.”

“Tentu saja. Itulah tujuanku, membunuhmu dan mendapatkan kebahagiaan. Dari dulu aku sempat bertanya-tanya, bagaimana rasa kebahagiaan itu sebenarnya? Waktu Minho menembakku aku juga bahagia, tapi tidak sebahagia ini. BAHAGIA KETIKA MEMBUNUHMU DENGAN TANGANKU SENDIRI, HAHAHAHAHAHA!! TERNYATA INILAH RASA KEBAHAGIAAN YANG SEBENARNYA!!”

“Maafkan akk-u!! Maafkan akku yang su-dah membuat-mu seperti i-ni.”

“Cih—jangan meminta maaf kepadaku, itu sudah terlambat. Kau minta maaf saja pada Tuhan!! Karena kau akan segera kukirim kedalam neraka.”

Segera saja pisau yang masih tertanam didalam perutnya kucabut dengan paksa. Dengan spontan ia berteriak kesakitan. Aku menyeringai.

“AKU INGIN MENUNJUKKAN BAGAIMANA RASA SAKIT ITU!!” Tanpa aba-aba segera saja kutorehkan ujung pisau tajam itu kekulit tangannya. Darah merembes dengan segera. Ia mengerang kesakitan.

“Rasakanlah, lama-kelamaan begitu menyakitkan, bukan? Begitu juga dengan hatiku. Sakitnya melebihi rasa sakit ini!!”

“Uuggh!! Ak-ku mengerti.” Sebuah senyuman menghiasi wajahnya yang kini pucat.

“Diambang kematian begini kau masih bisa tersenyum. Dasar gila!!”

“Ak-ku se-nang bi-sa meli-hatmu baha-gia begi-ni, dan ju-ga ayah i-bu.”

“HENTIKAN!! JANGAN SEBUT KEDUA ORANG ITU!!” Pisau yang kuletakkan dilantai itu, segera kupungut dan kutusukkan kedadanya. Langsung saja teriakan menggema diruangan itu. Aku tersenyum mendengar teriakan itu. Kukeluarkan pisau itu perlahan.

“Ingat-lah akku sela-lu menyayangimu, adik-ku. Aku ju-ga akan sela-lu menja-gamu selama-nya sam-pai aku mati. Bunga Mataha-ri.”

“BERHENTI BICARA!! KAU MEMBUATKU FRUSTASI!!”

Aku melihat sebuah besi runcing panjang yang tergeletak di pinggir pintu gudang itu, segera saja kuambil dan kutusukkan didahinya.

JLEBB

Besi runcing panjang itu sukses menembus dahinya yang kini berlumuran darah segar.

“AAAAARRRRGGGGHHHHH”

“Sudah kubilang, jangan terlalu banyak bicara.”

Pisau yang kini berada ditangan kananku kutancapkan kedalalam perutnya yang sudah terluka akibat luka tusukan.  Kutusuk, kucabut, lalu kutusuk lagi, hingga akhirnya aku tidak dapat mendengar suara erangan dari bibirnya yang kini memucat, karena kehabisan darah. Aku menyeringai, itu artinya ia sudah mati.

“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!!!!”

Aku menatap dengan pandangan meremehkan terhadap seorang wanita dihadapanku.

SIIING

Tusukan besi runcing panjang yang menancap di dahinya kucabut paksa, hingga aliran cairan merah pekat menyembur. Aku menyeringai menatap hasil karyaku.

“Benar bukan? Rasa kebenciankulah yang menjadikan kau seperti ini. Cih menyedihkan!”

KLONTANG

Kujatuhkan besi runcing panjang itu kesebuah lantai marmer yang kini dibanjiri cairan merah pekat yang menggiurkan.

Senang.

Rasanya menyenangkan. Apa kau tahu? Inilah yang kunamakan seperti disurga. Rasa benci yang kutanamkan hingga bertahun-tahun kini lenyap seperti dihempaskan oleh angin yang menyegarkan. Tanpa sengaja sebuah senyuman terukir diwajahku. Sebuah senyuman yang begitu puas.
Ketika sebuah senyuman puas itu menghilang dari wajahku, aku merasakan sesuatu yang basah mengaliri pelupuk mataku. Tangan kananku mencoba menyentuhnya. Ini air mata. Sudah lama aku tidak mengeluarkan air mata, kukira air mataku mengering karena terlalu sering membuangnya. Aku benci mengeluarkannya. Lalu kenapa sekarang tiba-tiba saja mataku yang menyedihkan ini mengeluarkannya? Jangan bilang karena ucapannya tadi mengingatkanku sesuatu hal yang kuakui bahwa ia benar-benar akan selalu menjagaku dan menyayangiku.

“Hei kenapa kau terus memasang tampang merengut begitu sih? Kau jadi seperti bunga matahari “
“Huh? Apa hubungannya?” Jawabku dengan ketus.
“Ah? Kau tidak tahu ya? Bunga matahari itu ketika air hujan menerpanya kelihatannya begitu menyedihkan. Lalu ketika matahari menyinarinya ia sangat terlihat berkilauan dan menyenangkan. Dan itu seperti dirimu. Kalau kau selalu ditimpa air hujan, dimataku kau terlihat menyedihkan. Makanya aku selalu mencoba menjadi matahari bagimu. Menyinarimu agar kau selalu menjadi menyilaukan dan menyenangkan.”
“Huh? Bodoh!!”
“Hei-hei!! Ternyata kau juga belum mengerti yah? Kau tahu ‘kan? Matahari itu SANGAT BESAR. Tahu tidak? Rasa sayangku itu terhadapmu itu seperti matahari, SANGAT BESAR. Ya—walaupun kau hanya mempunyai rasa sayang terhadapku sekecil biji bunga matahari, tidak apa-apa. Itu tidak akan mengubah rasa sayangku terhadapmu.”
Aku tertegun dengan ucapannya. Kutatap manik hitam itu yang kini sedang menatapku dengan tatapan yang begitu lembut.
“Makanya, aku hidup ditakdirkan untuk menjadi mataharimu. Aku akan selalu menjagamu agar tidak diterpa air hujan terus menerus, lalu selalu menyayangimu selamanya.”
“Kau bohong. Didunia ini manusia tidak mungkin abadi, pasti ada kematian. Ketika kau mati, rasa sayangmu itu akan sia-sia saja terkubur bersama ragamu yang sudah hancur.”
“Hei—kau masih kecil kenapa sudah mengatakan kematian sih? Memang benar manusia itu tidak ada yang abadi, seperti yang kau katakan. Lalu jika aku sudah tidak ada didunia ini lagi, maka akan kutitipkan rasa sayangku ini disini, dihatimu. Agar kau selalu merasakan kasih sayang seseorang yang paling menyayangimu didunia ini. Ingat-ingat itu ya adik kecilku, oh bukan bunga matahari, hehehe. ”

Huh? Bunga matahari? Itu sangat bodoh! Tanpa terasa cairan bening itu menganak sungai dipelupuk mataku. Kenapa rasanya begitu sakit sekali disini? Tangan kananku secara tidak sengaja mencengkram dadaku. Sakit. Hanya teringat kata-kata bodoh itu rasanya menyakitkan.
Ketika kau sudah tak ada didunia ini, bukannya hatiku merasa puas, tetapi sekarang malah terasa menyakitkan. Apakah aku menyesal telah membunuhnya? Jawabannya tentu saja tidak. Demi mencapai satu tujuan, apapun itu caranya walaupun harus membunuh sesuatu yang kau anggap sebagai benalu atau mungkin sangat berharga bagimu, mengapa tidak? Tapi—sekarang rasanya berbeda. Lututku terasa lemas, kujatuhkan anggota tubuhku diatas lantai marmer yang kini bersimbah aliran darah. Aku tidak peduli sekarang baju dress selututku terkontaminasi oleh darah dan bau anyir. Kurebahkan tubuhku yang kini sudah mati rasa untuk digerakkan. Manik hitamku menerawang keatas, tanpa sengaja manik hitamku bersibobrok dengan lampu gudang yang berwarna kuning.

Kuning.

Seperti warna matahari. Matahari, ya? Kau bilang, kau ditakdirkan sebagai matahari untukku. Menyinariku agar selalu terlihat menyilaukan dan menyenangkan. Bodoh! Bukan aku yang menyilaukan, tetapi dirimu, bahkan kau terlalu silau untuk dilihat. Semua orang yang berada didekatmu pastilah merasa senang. Sekarang aku mengerti. Kenapa setiap orang selalu saja melihatmu. Karena kau memang seperti matahari. Pencerah bumi ini.

Kakak.

Tahu tidak? Kau pernah mengatakan rasa sayangku terhadapmu hanya sekecil biji bunga matahari. Tetapi nyatanya tidak, rasa sayangku terhadapmu lebih besar dari pada matahari ataupun alam semesta ini. Bahkan aku rela membunuhmu, hanya karena keegoisanku. Apakah Tuhan marah padaku? Pasti iya.
Kakak.

“Aku juga menyayangimu, sunshine.” Seiring dengan ucapan itu, tanpa sengaja aku menutup kelopak mataku yang terasa berat. Sebuah senyuman kecut menghiasi wajahku. ‘Terlambat ya’ batinku.
Walaupun aku tak perlu mengatakan hal itu padamu. Aku percaya, kau juga bisa merasakan rasa sayangku terhadapmu. Karena kau kakakku. Kau adalah obat penyakit kebencianku, kau adalah seseorang yang selalu menyirami sinaran berwarna kuning itu kepadaku, agar buliran-buliran air itu tak menggenangi kelopak-kelopak bungaku.

Gomawo— Mianhamnida eonni.” Tanpa sengaja bibirku membentuk sebuah senyuman. Senyuman tulus. Sebuah senyuman yang kini—meluruhkan rasa kebencian itu menjadi sebuah kebahagiaan.

Your smile is my happiness

and your HATRED  is a pain imprint in your heart

Trust me, I’ll eliminate your hatred with a name that is often called—

.

.

.

.

LOVE


---THE END---

Halooooo semuaaaaa~ saya iseng aja ngepublish FF jadul saya, wkwkwkwkwk...  Alurnya SUMPAH CEPET banget. Lalu konsep ceritanya pasaran. Tapi— entahlah, saya ngebet banget pengen nulis ini, sebelum masa WB melanda saya alias masa MALES NULIS. Saya ngerasa nih fic terinpirasi ama duo bersaudara Uchiha. Well—kalian tahu sendiri 'kan gimana mereka. Fuih, membahasnya terlalu menyedihkan dan memperpanjang area bachootann saya. Lalu tentang unsur gore di Fic ini, ehem bagaimana? Gak serem-serem amat ‘kan? Makanya saya sengaja ngasih ratingnya T+ bukan M, soalnya saya gak punya sifat kepsycopath-an kekekeke~. Kemudian EDnya SUMPAH it’s weird, maaf yak kalau aneh. Soalnya saya udah frustasi mikirinnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar